Islam dalam penyebarannya ke Indonesia khususnya ke Jawa, tidak
begitu saja, tetapi ini melalui jalan-jalan yang sangat sulit sekali.
Para wali khususnya Sunan Kalijaga menempuh jalan memasukkan ajaran
Islam kepada rakyat di tanah Jawa antara lain:
a. Ajaran agama itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara
memasukkan sedikit-demi sedikit, agar masyarakat tidak kaget atau tidak
menolak.
b. Mengawinkan ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha
Disamping kedua cara tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi
hal-hal atau pun cara-cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga.
Sejarah Kehidupan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455. Beliau
diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang
merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada
pula yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah
Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga,
beliau juga mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah merasakan dan melihat
lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang
serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal
tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan
kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi
pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata,
menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan
membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan
dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh
ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok
dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi,
yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun
pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya
dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan
Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman, Syeh
Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang
lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang berkata
pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai
pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini
sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan.
Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat
itu. Raden Said siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam,
berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said,
Sunan Bonang berubah menjadi empat. Raden Said ketakutan melihat
kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri perbuatan
nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau taat pada
Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu
beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah
sejarahnya kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan
kemudian beliau diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati.
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga menikah
dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga
orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari
rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana, penghulu:
sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang kemudian
menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu
artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan
(kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir
1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan
Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat
dimana wali itu dimakamkan. Tidak demikian halnya dengan Sunan Kalijaga
yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan
sebutan “Sunan Kalijaga”.
Peran Sunan Kalijaga dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama
Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan
untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya
di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para wali yang masih
muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan
ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda
bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas dari
penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh
Walisongo, misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan
Bonang disamping dari pihak kesultanan Patah di daerah-daerah yang rawan
tata krama, rawan tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih melakukan
kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan
Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di
suatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan
pegunungan, siang malam terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling
dari daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai
“muballigh keliling” atau
Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki karisma
tersendiri diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai
lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga
dikenal bernama “Syeh Malaya”.
Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya : pengenalan agama
secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat / kesenian daerah (adat
lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju taqwa (lalu
disempurnakan oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula
Semarangan, menciptakan lagu lir-ilir yang sampai saat ini masih akrab
di kalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif
daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat
bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah, acara ritual berupa
gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang
diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi,
menciptakan Gong sekaten bernama asli Gang Syahadatain (dua kalimah
syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung
masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”, pencipta wayang kulit di
atas kulit kambing, sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti
menunjukkan jalan yang benar), wayang kulit dengan beberapa cerita yang
ia senangi yaitu antara lain jimat kalimasada dan dewa ruci serta petruk
jadi raja dan wahyu widayat, serta sebagai ahli kata-kata seperti
misalnya pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon
beringin dan masjid.
Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali
yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi,
daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah
terhitung seorang mubaligh keliling (“reizendle mubaligh”). Jikalau
beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan
sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena
caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran
zaman Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi
dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam semasa
hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta
disegani, beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif
mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam
dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur
ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di
Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan
Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, atau dengan kata lain, masyarakat
masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada
gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang
mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak,
mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama
dengan ajaran-ajaran Islam asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana
adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam
mengembangkan agama Islam disini.
Sedang menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konferensi
besar para wali, di serambi masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi
yang diramaikan dengan rebana (bahasa Jawa : terbangan) menurut seni
arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian
disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Maka gamelan yang
telah dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan yaitu sebuah tarub
yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi beraneka
macam bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula, sehingga
banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian
para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya,
uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang menarik sehingga
orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid
untuk mendekati gamelan yang sedang di tabuh, artinya dibunyikan itu dan
mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu
harus mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu gapura. Upacara
yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang
siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke
dalam masjid melalui gapura (dari bahasa Arab Ghapura), maka berarti
bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik”
berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat
toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika di serang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap;
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Jasa-jasa Sunan Kalijaga
1. Bidang strategi perjuangan
Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama Islam
di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka
menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang
diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang
masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat
diterima dengan mudah dan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami
dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan
agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau
kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang
demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan
pula dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha yang
fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila
dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara
yang bijaksana dan melalui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para
wali termasuk Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan
Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka,
misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat
keagamaan Syiwa Budha.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai
bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat
dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai
nilai yang berharga bagi bangsa Indonesia.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya
dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama
(wayang kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni
pahat dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh
Sunan Kalijaga (periode Demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka
macam, sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat
indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan
dan pengajaran budi pekerti, di dalam bahasa kawi, burung itu disebut
“kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari
rangkaian kata “quu” dan “qilla” atau “quuqilla” yang artinya
“peliharalah ucapan (mulut) mu”.
Di lain pihak Sunan Kalijaga juga menciptakan karangan cerita-cerita
pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang
yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita
menurut kepercayaan Jawa dengan corak kehidupannya yang ada, tetapi
sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin.
Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena adanya pertimbangan,
bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaan Hindu dan Budhanya.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang lain
seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan
ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau
yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya tiang
pokok dalam masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu
jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70
cm. ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.
Peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga
1. Masjid Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid
kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga.
Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal dengan nama Masjid
Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin karena letaknya
yang berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang
“kera”. Di sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya
sedikit, jurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak
kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai
tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu itu masih berupa
surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya
yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan
bangunannya sehingga berupa masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu masjid sebelah
dalam yang berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu hing
dino ahad wage tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”, (ini
waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari ahad wage tanggal 16 bulan
dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456). Tulisan aslinya bertulisan huruf
Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu beberapa kali mengalami
perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah
tidak asli, terutama bagian luarnya.
3. Keris Kyai Clubuk
4. Keris Kyai Syir’an
5. Kotang Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu para
Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak,
tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan
mikhrab. Maka oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil
dan memeriksanya. Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang),
dan secarik kertas yang menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi
Muhammad Saw, dan menerangkan supaya kulit kambing yang terdapat juga
dalam bungkusan itu dibuat baju juga. Menurut cerita kedua baju itu
sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama “baju ontokusumo” yang
disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai Gondil” ada dalam makam
Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Post a Comment