Kekhalifahan pertama Jawa, yang selama ini dicita-citakan oleh Kaum
Putihan berhasil berdiri. Raden Patah atau Tan Eng Hwat dikukuhkan
sebagai khalifah pertama Demak Bintara dengan gelar Sultan Syah ‘Alam
Akbar Jiem-Boenningrat ( Nama Jiem-Boen, adalah nama China. Saya belum tahu pasti darimana dan mengapa nama itu diambil. : Damar Shashangka )
Praktis, Raden Patah mulai berkuasa dari tahun 1479 Masehi. Begitu
naik tahta, wilayah negara Demak Bintara yang dulu diperkirakan kurang
lebihnya separuh bekas wilayah Majapahit, terutama wilayah bagian barat
yang mayoritas sudah banyak penduduknya yang memeluk Islam, ternyata
perkiraan itu salah!
Daerah-daerah yang dapat dikuasai oleh Demak, yang terang-terangan
dengan suka rela mengakui kedaulatan Demak Bintara, ternyata hanya
sebatas Jawa Tengah sekarang dan pesisir utara Jawa Timur hingga ke
Pulau Madura. Selebihnya, tidak ada satu Kadipaten-pun yang mau tunduk
tanpa syarat.
Yang sangat mencolok mata, begitu Pangeran Cakrabhuwana meletakkan
jabatannya sebagai Akuwu (setingkat Adipati ) di Caruban Larang pada
tahun 1479, dan pada tahun itu pula Sunan Gunungjati diangkat sebagai
pengganti beliau bahkan dinikahkan dengan putri beliau Nyi Pakungwati,
Caruban Larang, secara tegas menolak menjadi wilayah Demak Bintara!
Sunan Gunungjati berdalih, secara historis, Caruban Larang dari dulu
bukan wilayah Majapahit, tapi wilayah Pajajaran. Dan Caruban Larang
berhak menentukan nasibnya sendiri.
Syeh Siti Jenar diam-diam prihatin melihat kekonyolan mereka-mereka
yang mengaku sebagai pemimpin umat ini. Namun, ketegangan demi
ketegangan yang terjadi antar kaum Putihan sendiri, dita,bah
operasi-operasi militer yang harus dilakukan oleh pemerintahan Demak
Bintara, membuat Syeh Siti Jenar, sedikit banyak luput dari perhatian
Dewan Wali.
Dewan Wali tengah sibuk, tengah kewalahan menghadapi
perlawanan-perlawanan sisa-sisa kekuatan Hindhu-Buddha yang beberapa
daerah masih nekad melakukan perlawanan. Seandainya Prabhu Brawijaya,
mau mengkoordinasikan setiap kekuatan sisa-sisa Majapahit ini, maka
Demak Bintara tak akan bertahan lama. Cuma yang dikhawatirkan oleh Sunan
Kalijaga, jika memang pengkoordinasian kekuatan itu benar-benar
dilakukan, bukan hanya Demak Bintara, bahkan seluruh umat muslim yang
kontra Demak-pun jadi terkena imbasnya.
Banjir darah tidak hanya akan terjadi di Jawa, tapi diseluruh wilayah
Majapahit, jika sampai Prabhu Brawijaya mengeluarkan komando penyatuan
sisa-sisa kekuatan itu. Demi kemanusiaan, yang ‘sadar’, harus mengalah.
Disisi lain-pun, seandainya Raden Patah tidak memandang Dewan Wali
Sangha, pasti dia akan melakukan invasi ke Caruban Larang yang kini,
setelah dipimpin oleh Sunan Gunungjati, berubah nama menjadi Carbon
Girang. Namun mengingat kedudukan kekhalifahan Islam di Jawa masih
sangat lemah dan butuh kesatu paduan, untuk sementara Raden Patah
memendam niatannya.
Semua dinamika politik ini, tak lepas dari pengamatan Sunan Kalijaga
dan Syeh Siti Jenar. Pada awal berdirinya Demak, Sunan Kalijaga yang
pernah berjanji kepada Prabhu Brawijaya untuk ikut terjun ke kancah
perpolitikan, demi untuk bisa ikut menentukan arah kebijakan Demak
Bintara ( baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar
Shashangka ), pada waktu itu memilih untuk menunggu dan melihat
perkembangan dulu. Beliau sekarang lebih terfokus untuk berdakwah
keliling, dari satu kota ke kota lain, terutama di pedalaman Jawa demi
untuk menghindari sewaktu-waktu Dewan Wali Sangha meminta bantuannya
untuk menundukkan daerah tertentu dengan meminjam wibawa beliau.
Sedangkan Syeh Siti Jenar, lebih memfokuskan diri untuk mengajar para
santri-santrinya. Terdapat beberapa nama santri beliau yang terkenal,
diantaranya Lontang Asmara dan Sunan Panggung.
Waktu berjalan cepat. Pemerintahan Demak Bintara terus disibukkan
dengan operasi-operasi militer yang tak kunjung selesai. Praktis,
kesejahteraan masyarakat menjadi kurang diperhatikan. Rakyat kecil, yang
dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa,
kini, pelahan-lahan, dibahaw naungan Ke-khalifah-an yang katanya pasti
akan memberikan keberkahan, ternyata, malah membawa ke ambang ketidak
pastian.
Stabilitas kacau balau. Roda perekonomian-pun terganggu. Banyak
investor yang sudah pada hengkang dari Jawa. Jawa setelah Majapahit
jatuh, bukannya berubah menjadi surga, namun malah menjadi neraka.
Dan konyolnya, pada tahun 1487 Masehi, Sunan Giri Kedhaton
memproklamirkan berdirinya kembali Ke-khalifah-an Giri yang dulu pernah
dihancurkan oleh Majapahit ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar
Shashangka).
Raden Patah, dibuat pusing karenanya.
Carut marut perpolitikan di Jawa membuat Dewan Wali melupakan kasus
Syeh Siti Jenar dalam jangka waktu yang lama. Kini ditambah lagi, Carbon
Girang mulai ikut-ikutan mencoba menggoyang Pajajaran.
Tahta Pajajaran, telah berganti dari Prabhu Silih Wangi atau Prabhu
Niskala Wastu Kancana kepada Prabhu Tohaan sejak tahun 1475. Sunan
Gunungjati, mendapati kakeknya, Prabhu Silih Wangi telah lengser, maka
kini dia tak lagi sungkan-sungkan untuk mengadakan penyerangan ke
wilayah Pajajaran. Namun, Pajajaran sangat kuat dan tertutup. Sehingga,
baik invasi militer maupun taktik infiltrasi seperti yang pernah
dilakukan kepada Majapahit, tak mampu menembus Pajajaran. Padahal Carbon
Girang dibantu oleh Demak Bintara dan Kadipaten Banten. ( Banten adalah
wilayah Carbon Girang. Dipimpin oleh Pangeran Sebakingkin, putra Sunan
Gunungjati dengan Nyi Kawungten, putri Adipati Banten. Pangeran
Sebakingkin kelak dikenal dengan gelar Maulana Hassanuddin. : Damar
Shashangka).
Kegagalan taktik infiltrasi sebagian besar dikarenakan di Pajajaran,
tidak banyak pejabatnya yang memeluk agama Islam seperti halnya
Majapahit dulu. Bahkan diam-diam, beberapa sisa-sisa lasykar Majapahit,
menyokong Pajajaran.
Jalan satu-satunya untuk memperlemah Pajajaran hanyalah menguasai
pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa Barat, dimana dari
pelabuhan-pelabuhan ini, roda perekonomian Pajajaran sebagian besar
tertunjang karenanya. Seluruh pesisir utara Jawa Barat, dikuasai dengan
paksa oleh Carbon Girang. Praktis, jika dengan kekuatan militer, Carbon
Girang tidak mampu menembus Pajajaran, maka jalan satu-satunya adalah
melakukan blokade ekonomi!
Melihat perkembangan politik Caruban Larang yang kini berganti nama
Carbon Girang sedemikian panas, Syeh Siti Jenar punya niatan untuk
memindahkan pesantrennya ke pedalaman Jawa. Beliau berniat untuk
menyingkir ke basis kaum Abangan. Carbon Girang hendak beliau
tinggalkan. Namun, Syeh Siti Jnear, bukanlah tokoh yang dekat dengan
kekuasaan seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau kesulitan melobi hunian
baru untuk tempat kepindahan pesantrennya.
Seandainya beliau tidak memikirkan nasib para pendukungnya, bisa saja
beliau meninggalkan Jawa. Namun, itu bukan watak orang yang sudah
‘tercerahkan’.
Menginjak awal tahun 1490 Masehi, ketika Pajajaran diperintah oleh
Sang Raja Jayadewata (1482-1521 M), Ki Ageng Kebo Kenanga, atau yang
terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging (
sekitar Surakarta, Jawa Tengah, sekarang : Damar Shashangka), yang masih
berusia 21 tahun, sangat muda, diam-diam menawarkan daerah Pengging
sebagai tempak hunian baru kepindahan pesantren beliau.
Mendengar hal itu, Sunan Kalijaga, yang pernah mendapat amanah agar
menjaga trah Pengging dan trah Tarub dari Prabhu Brawijaya ( baca Misi
Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), segera memperingatkan Syeh
Siti Jenar agar menolak tawaran tersebut. Mengingat penguasa Demak
Bintara masih menganggap trah Pengging adalah bahaya laten bagi Demak
Bintara. Karena memang sesungguhnya tahta Majapahit, harus jatuh ke trah
Pengging, bukan ke Raden Patah. Jika sampai pemerintah Demak tahu ada
hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, dapat
dipastikan, Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging, akan dicurigai
tengah membangun kembali kekuatan politik Majapahit.
Syeh Siti Jenar yang memang tidak paham peta politik Jawa, segera
mempertimbangkan akan hal itu. Dan segera, beliau menolak tawaran Ki
Ageng Pengging yang masih muda tersebut. Namun, Syeh Siti Jenar tidak
bisa mengelak untuk menyukai sosok Ki Ageng Pengging, yang walaupun
masih muda, namun sangat tinggi kedalaman ‘spiritualitas’-nya. Syeh Siti
Jenar dibuat kagug karenanya. Tidak hanya beliau, Sunan Kalijaga-pun
juga mengagumi pemuda ini.
Walau terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan
mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah ‘spiritualitas’. Walaupun
Ki Ageng Pengging pemeluk Shiva Buddha dan Syeh Siti Jenar pemeluk
Islam, tapi pada ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami
adalah sama.
Seringkali Syeh Siti Jenar memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh
kasih. Beliau sudah menganggap, pemuda ini adalah anaknya sendiri, tiada
beda dengan Syeh Datuk Pardhun, putra Syeh Siti Jenar sendiri.
Begitu juga Ki Ageng Pengging, juga sudah menganggap Syeh Siti Jenar
seolah seperti ayah kandungnya. Maklum, Adipati Handayaningrat IV, ayah
kandung Ki Ageng Penggging, memang sudah wafat.
Kedekatan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Siti Jenar, menarik minat Ki
Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sahabat-sahabat Ki
Ageng Pengging, untuk berguru kepada Syeh Siti Jenar.
Disini perlu diperjelas, yang menjadi murid Syeh Siti Jenar
sebenarnya adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh,
sedangkan Ki Ageng Pengging, walau dekat dengan Sang Syeh, tapi tetap
memeluk Shiva Buddha. Hubungan yang indah antara sahabat, ayah angkat,
murid dan Guru ini memang seringkali menimbulkan salah pengertian.
Kelak, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang terkenal dengan gelar Sunan
Butuh dan Sunan Ngerang, murid-murid Syeh Siti Jenar.
Namun, gerak-gerik Ki Ageng Pengging, senantiasa dimonitor oleh
mata-mata Demak Bintara. Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki
Ageng Pengging telah masuk ke hadapan Raden Patah, Sultan Demak. Hal
ini, perlu diwaspadai. Sebagai seorang pemimpin politik tertinggi Demak,
mau tak mau, Raden Patah harus mencurigai kegiatan Ki Ageng Pengging.
Dan laporan serupa, sampai juga ke Kekhalifahan Giri. Sunan Giri,
walau telah menjabat sebagai Sultan Giri, namun masih tetap juga
menjabat sebagai Pemimpin Dewan Wali Sangha. Kerancauan ini, otomatis
membuat Demak Bintara, walau bukan wilayah Giri Kedhaton, namun mau tak
mau harus tetap tunduk pada fatwa-fatwa Sunan Giri. Dan fatwa-fatwa
Sunan Giri, sangat tipis bedanya dengan perintah-perintah beliau sebagai
seorang Sultan. Kalau direnungkan kembali, sebenarnya Raden Patah,
tidak memiliki wewenang yang sesungguhnya sebagai Sultan Demak.
Hal inilah yang memicu kelak dikemudian hari, pada masa sesudah
Kekhalifahan Demak jatuh, banyak penguasa Kekhalifahan Jawa yang
berusaha menyerang Giri Kedhaton dengan kekuatan militer. Karena
bagaimanapun juga, sebuah pemerintahan tidak akan bisa mementukan
kebijakan secara bebas jika selalu diintervensi penguasa pemerintahan
lain dengan berselimutkan fatwa.
Namun, usaha-usaha yang rasional seperti ini, malah dicerca
habis-habisan oleh Kaum Putihan dikemudian hari. Mereka
menjelek-jelekkan Sultan Hadiwijaya ( Kesultanan Pajang ) dan Panembahan
Senopati ( Kesultanan Mataram ) yang menyerang Giri. Pada buku-buku
kaum Putihan, yang melimpah ruah dipasaran, kedua penguasa ini
sangat-sangat dipersalahkan.
Kelak pada tahun 1679 Masehi, pada saat Kesultanan Mataram diperintah
oleh Sunan Amangkurat II, Giri Kedhaton berhasil dihancurkan.
Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng
Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan
Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin
Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan
Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap
Syeh Siti Jenar.
Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut.
Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak
Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang
untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang
menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam
barisan pasukan Demak Bintara.
Pasukan gabungan ini lantas menuju Pesantren Krendhasawa, dimana Syeh
Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar bermukim. Para santri geger melihat
kedatangan pasukan gabungan ini. Seluruh santri diultimatum untuk
meninggalkan area pondok Pesantren. Namun, perlawanan terjadi.
Perlawanan yang takseberapa. Namun jatuh juga korban dipihak santri Syeh
Siti Jenar.
Pondok Pesantren Krendhasawa dikepung ketat. Setelah pasukan Demak
Bintara dan Carbon berhasil menguasai keadaan, Sunan Kudus, Senopati
Demak Bintara, segera masuk ke Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar
tinggal. Kedua ulama yang berseberangan ini bertemu dalam situasi
tegang! Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan
Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap. Syeh Siti Jenar
dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.
Pondok Pesantren Krendhasawa selama beberapa hari dalam situasi
mencekam. Syeh Siti Jenar masih ada didalam sana. Beliautidak
diperkenankan keluar dari kediaman beliau. Status beliau sekarang adalah
tahanan negara! Beliau akan diadili di Cirebon, dengan tuduhan telah
menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah
menyebarkan ajaran menyimpang kepada ummat Islam. Ki Ageng Pengging,
menyusul kemudian untuk ditangkap!
Tempat pengadilan belum ditentukan, menunggu kedatangan para Wali
dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang tengah dalam perjalanan menuju
Carbon Girang.
Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang lebih dahulu. Diiringi
dengan beberapa santri beliau. Sunan Kalijaga, meminta kepada Sunan
Kudus agar memperkenankan dirinya bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan
Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus
agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus
memberikan ijin juga.
Sunan Kalijaga berhasil menemui Syeh Siti Jenar, sosok yang sudah
dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Di Dalem Agung, dimana Syeh
Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Meteka berdua bertemu
dalam situasi memilukan.
Syeh Siti Jenar, tetap terlihat tegar. Bahkan beliau berpesan kepada
Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang
penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal.
Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon.
Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati ( Istana Kasultanan Carbon
bernama Pakungwati, mengambil nama dari istri Sunan Gunungjati, Nyi
Pakungwati : Damar Shashangka). Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali
memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang dengan mengambil Masjid
Agung Sang Ciptarasa sebagai tempatnya.
Syeh Lemah Abang, diiringi Sunan Kalijaga, dengan dikawal pasukan
Demak dan Carbon, segera menuju Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pengawalan
sangat ketat. Seluruh masyarakat Carbon Girang mengawasi dengan hati
tercekam.
Ada beberapa kejadian yang tak terduga, beberapa santri Syeh Lemah
Abang melakukan perlawanan hendak menerobos blokade militer yang tengah
mengawal Sang Syeh. Mereka berhasil ditangkap. Syeh Lemah Abang,
ditengah kerumunan pasukan dan masyarakat yang hendak menyaksikan,
segera memerintahkan agar seluruh santrinya tenang dan ridlo’. Seluruh
pendukungnya diminta agar berserah diri kepada Dzat Penguasa ‘Alam.
Di Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.
Pengadilan berjalan a lot dan lamban. Tidak ada yang tahu apa yang
terjadi disana. Karena pengadilan ini bersifat tertutup. Situasi Masjid
Agung Sang Ciptarasa sangat mencekam. Penjagaan ketat terlihat
disana-sini. Pasukan Demak, dibantu Pasukan Carbon, melakukan penjagaan
berlapis-lapis. Tidak ada yang boleh memasuki areal Masjid. Siapapun
juga!
Hampir seharian penuh, tak ada perubahan situasi. Tetap mencekam. Dan
menjelang malam tiba, nampak Syeh Lemah Abang, digiring ke halaman
Masjid Sang Ciptarasa. Pasukan semakin diperketat.
Dihalaman Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus sendiri yang menjalankan
eksekusi hukuman mati. Syeh Lemah Abang, dengan senyum dibibirnya,
dengan kepasrahan total kepada Dzat Yang Meliputi Semesta, menyambut
detik-detik terakhir hidupnya.
Sunan Kudus, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Kepala sudah terlepas
dari badan. Darah menyemburat! Dan Syeh Lemah Abang, wafat saat itu
juga!
Namun terjadi keganjilan, diareal Masjid Sang Ciptarasa, begitu Syeh
Lemah Abang terpenggal kepalanya, mendadak sontak tercium aroma wangi
semerbak yang aneh. Wangi yang bukan datang dari alam manusia. Wangi
yang menyeruak dari alam Illahi!
Seluruh yang hadir tercekat. Para Wali yang menyaksikan jalannya
eksekusi mati keheranan. Sunan Kudus tertegun. Para Pasukan yang
bertugas sebagai penjaga pelaksanaan eksekusi, miris dan ketakutan.
Bahkan lamat-lamat, Para Wali melihat samar dan halus,
ditengah-tengah darah yang menggenang disekitar jasad Syeh Siti Jenar,
lamat-lamat, muncul empat huruf yang jika dibaca akan berbunyi ALLAH!
Cuma sebentar. Dan kejadian gaib ini, sudah membuat beberapa Wali
terjajar halus kebelakang!
Kala itulah, mendadak Sunan Kalijaga mengalami ‘Peningkatan
Kesadaran’. Batinnya sangat peka. Ada sebuah kekuatan illahi yang
menarik ‘Kesadaran’ beliau. Dan Sunan Kalijaga tergetar begitu mendengar
suara lamat-lamat, yang syahdu, berasal dari dalam jiwanya. Suara itu
adalah suara Syeh Lemah Abang,…
Inilah yang beliau dengar…………..
Kinanti1.Wau kang murweng don luhung,atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti. 2.Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi. 3.Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani. 4.Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji, wijanging ngelmu jatmika, neng kaanan ênêng êning. |
Terjemahan1.Dari yang sampai kepada Jalan Agung, Meninggalkan Pesan Sejati, Wahai manusia semua, Pada saat kematian menjelang, Tekad yang kuat (menggapai Kesempurnaan Sejati ), Dan keteguhan kehendak (menggapai Kesempurnaan Sejati )..2.Tidak didapatkan karena hanya mendengar semata, Terkecoh ajaran berbelit-belit, Mementingkan keutamaan tubuh (Ilmu Fiqh), Apa yang tertulis dipercayai begitu saja, Padahal itu hanya Ilmu Etika, Belum menyentuh apa yang sesungguhnya. 3.Maka jangan terjebak syari’at, Sangat-sangat mengganggu pencapaian Kesejatian, Terlalu menimbulkan keragu-raguan dan ketidak pastian, Walau tidak yakin benar tetap saja kamu jalani, (Fiqh) itu Ilmu Duniawi, Ketika meninggal tidak berguna. 4.Sesungguh-sungguhnya Ilmu, Berada didalam Kesadaranmu sendiri, Tingkatkan Kesadaranmu itu, Satukan dengan Kesadaran Sejati, Kesempurnaan Ilmu Sesungguhnya, Akan kamu dapatkan dalam keadaan ENENG ( DIAM ) ENING ( HENING). |
Sunan Kalijaga menitikkan air mata haru mendapati fenomena luar biasa
itu. Dan segera, beliau memerintahkan pasukan Demak, merawat jasad Sang
Kekasih Allah tersebut.
Sunan Kudus terpaku. Tak mampu berucap sepatah kata-pun.
Jenasah beliau, dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian
hari, jenasah beliau dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan
Gunungjati.
Keharuman nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, tidak bisa
dihapuskan begitu saja dari benak masyarakat Jawa. Walaupun demikian
hebat fitnahan yang dilancarkan kepada beliau sesudah beliau wafat,
namun bagi masyarakat Jawa, diam-diam Syeh Siti Jenar tetap sebagai
tokoh Agung.
Post a Comment