Syeh Siti Jenar, kini telah menjadi semacam duri dalam daging bagi
Dewan Wali Sangha. Sebuah duri ditengah berkobarnya semangat
kekhalifahan. Sebuah obsesi Kaum Putihan untuk mendirikan bentuk
pemerintahan Islam pertama di Jawa. Suatu Kekhalifahan yang menurut
mereka bakal menjadi lebih besar gaungnya daripada Kekhalifahan Malaka(
yang berdiri -/+ 1400 M) maupun Kekhalifahan Samudera Pasai yang berdiri
pada tahun 1285 Masehi, tujuh tahun lebih awal berdiri daripada
berdirinya Kerajaan Majapahit di Jawa ( 1292 M).Samudera Pasai bisa
berdiri karena Kerajaan Shriiwijaya yang bercorak Buddhis, tengah
terlibat peperangan dengan Kerajaan Thai yang juga sama-sama bercorak
Buddhis. Ditambah lagi, serangan dari Kerajaan Singhasari yang berpusat
di Malang, Jawa Timur dalam ekspedisi Pamalayu-nya, ikut memperlemah
kekuatan Shriiwijaya.
Dalam situasi politik yang tidak menentu seperti ini, Samudera Pasai
berhasil memisahkan diri, dan kemudian memaklumatkan diri sebagai
Kekhalifahan pertama di Nusantara. Namun manakala Majapahit berdiri,
sebagai penerus dinasty Singhasari, dan ketika Shriiwijaya berhasil
dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Majapahit, maka Samudera Pasai-pun,
mau tak mau, harus ikut tunduk mengakui kekuatan Majapahit.
Namun walaupun begitu, otonomi khusus bagi Samudera Pasai tetap
diberikan oleh Penguasa Majapahit ( Raden Wijaya kala itu ). Hukum Islam
tetap boleh diberlakukan diwilayah Samudera Pasai. Kebijakan yang luar
biasa seperti ini, hanya bisa didapati dari mereka-mereka yang sudah
berkesadaran tinggi. Seandainya Samudera Pasai yang berkuasa atas
Majapahit, apakah akan terjadi sebaliknya?
Dan pada tahun 1401-1406 Masehi, Majapahit dilanda keguncangan.
Kadipaten Blambangan, sebuah Kerajaan kecil wilayah Majapahit yang ada
diujung timur pulau Jawa, hendak melepaskan diri dari pusat kekuasaan.
Maka, terjadilah perang saudara yang terkenal dalam sejarah dengan nama
Perang Pareg-greg. Blambangan berhasil ditundukkan. Beberapa bangsawan
Blambangan berhasil melarikan diri ke pulau Tumasik ( Negara Singapura sekarang : Damar Shashangka).
Namun, beberapa diantara bangsawan Blambangan merasa tetap tidak aman
tinggal di pulau Tumasik, salah seorang darinya, bernama Pangeran
Paramishora, diiringi beberapa pengikutnya, meninggalkan pulau Tumasik,
menuju ke Semenanjung Malaka.
Di Semenanjung Malaka, Pangeran Paramishora dengan para pengikutnya
dari Jawa, emmbuka hunian baru. Karena letaknya strategis, hunian baru
itu berkembang pesat menjadi salah satu pusat perdagangan dunia.
Pangeran Paramishora lantas memberanikan diri memproklamirkan berdirinya
sebuah Kerajaan baru bernama Kerajaan Malaka. Dan Kerajaan Malaka
inilah cikal bakal negara Malaysia sekarang.
Mendengar diproklamirkannya sebuah Kerajaan baru di Semenanjung
Malaka yang merupakan wilayah Majapahit dan yang tidak mengakui
kedaulatan Majapahit, penguasa Majapahit kala itu, yaitu Prabhu
Wikramawardhana, tidak tinggal diam. Pangeran Paramishora, meminta
bantuan Kaisar China dan menyatakan tunduk kepada Kekaisaran China,
sehingga mau tidak mau Angkatan Perang Majapahit jika hendak merebur
kembali Malaka, harus berhadapan dengan Angkatan Perang China!
Pangeran Paramoshora memang cerdik, bahkan untuk memperkuat tercapai
ambisinya, dia menyatakan masuk Islam karena dia menyadari, di Malaka
kebanyakan masyarakatnya telah memeluk Islam. Begitu masuk Islam dia
mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah. Dan Malaka lantas
berubah menjadi sebuah kekhalifahan Islam. Para penduduk Malaka dan
Samudera Pasai menyatakan dukungannya kepada Kekhalifahan Malaka.
Praktis, kini Majapahit harus menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu
kekuatan Angkatan Perang China dan kekuatan Islam.
Dilain pihak, dipusat kekuasaan Majapahit sendiri, segala keputusan
penting yang menyangkut Kedaulatan Negara, terkesan sangat lambat dan
tidak tegas. Terutama kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-orang
Islam yang ada diwilayah Majapahit membuat Majapahit semakin kehilangan
pamornya. Kebijakan yang teramat lunak ini juga tak lepas dari banyaknya
petinggi Kerajaan yang telah beragama Islam. Maka tak heran, kebijakan
yang terlampau lunak kepada orang-otrang Islam, kerap kali mewarnai
keputusan-keputusan yang diambil. Dan menyangkut urusan Malaka, pada
akhirnya, Malaka lepas juga dari wilayah Majapahit. Konfrontasi yang
hendak dijalankan, tidak pernah terwujud. Majapahit tengah disetir oleh
kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak kasat mata.
Sultan Iskandar Syah, meninggal dunia pada tahun 1414 Masehi. Dia
digantikan oleh Muhammad Iskandar Syah. Sepuluh tahun kemudian (1424 M
), terjadi perebutan kekuasaan. Adik Muhammad Iskandar Syah, yaitu
Mudzafar Syah, merebut tahta Kekhalifahan. Situasi politik Malaka
mencekam.
Pada masa inilah, Syeh Datuk Sholeh, seorang ulama Islam terkemuka yang tinggal di Malaka, melarikan diri ke Jawa.
Syeh Datuk Sholeh, adalah putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa
adalah ulama terkemuka juga di Malaka, beliau putra Syeh Ahmad
Jalalluddin, ulama Islam yang bermukim di Champa ( Kamboja sekarang : Damar Shashangka ).
Syeh Ahmad Jalalluddin adalah pendatang dari India, dia adalah putra
Syeh Abdullah Khannuddin, seorang Mursyid Thariqat Syathariyyah yang
terkenal di Ahmadabad, India. Syeh Abdullah Khannuddin sendiri adalah
putra Syeh Abdul Malik yang juga seorang pendatang di India. Beliau
berasal dari Qazam, Hadramaut. Syeh Abdul Malik adalah putra Syeh
‘Alawy. Syeh Alawiy adalah keturunan seorang ulama terkenal yang bernama
Syeh Isa al-Muhajjir al-Bashori al- ‘Alawiy.
Pada tahun 1425 Masehi, Syeh Datuk Sholeh, tiba di Caruban Larang ( Cirebon sekarang : Damar Shashangka ).
Kedatangannya bersama istri beliau dan para pengikutnya. Setibanya di
Caruban Larang, yang waktu itu sudah diperintah oleh Pangeran
Cakrabhuwana, beliau memilih menetap di daerah Pakuwuan Caruban atau
Astana Japura sekarang, terletak sebelah tenggara kota Caruban Larang.
Di Caruban, beliau bersahabat dekat dengan Syeh Datuk Kahfi, seorang
ulama Islam yang telah lebih dahulu tiba di Caruban, bahkan jauh-jauh
hari sebelum Pangeran Cakrabhuwana mendirikan Caruban Larang. Syeh Datuk
Kahfi inilah, guru dari Pangeran Cakrabhuwana.
Pada awal tahun 1426 Masehi, Syeh Datuk Sholeh wafat. Kala itu, istri
beliau yang tengah mengandung semenjak kepergiannya dari Malaka,
melahirkan seorang putra. Putra yang lahir yatim ini, diberi nama San
‘Ali Anshar. Kelak, San ‘Ali Anshar inilah yang terkenal dengan nama
Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar.
Sejak kecil, San ‘Ali Anshar diasuh oleh Ki Danusela, sahabat Syeh
Datuk Sholeh. Menginjak usia lima tahun, Ki Danusela mengirimkan San
‘Ali Anshar ke pasantren Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syeh Satuk
Kahfi.
San ‘Ali Anshar, adalah santri generasi kedua dari Pesantren Giri
Amparan Jati. Pada generasi pertama, tercatat nama Pangeran Walang
Sungsang dan Dewi Rara Santang. Keduanya adalah putra-putri Prabhu
Silihwangi, Raja Pajajaran. Dan Pangeran Walang Sungsang, lantas
bergelar Pangeran Cakrabhuwana, sedangkan Dewi Rara Santang lantas
berganti nama menjadi Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah ibu dari
Syarif Hidayatullah yang kelak terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.
Menginjak dewasa, San ‘Ali Anshar setelah merasa cukup menimba ilmu
agama dari Syeh Datuk Kahfi, dia lantas memutuskan untuk menuju
pedalaman Pajajaran. San ‘Ali Anshar merasa bahwa apa yang dicarinya
selama ini, apa yang didalaminya selama ini, belum bisa memuaskan hasrat
‘spiritual’-nya. Dia ingin mencoba mencari seorang Guru lain, Guru
selain Syeh Datuk Kahfi. Dan San ‘Ali Anshar menerobos pedalaman
Pajajaran untuk mecari Para Pertapa Buddha dan Para Ahli Yoga Hindhu
yang kabarnya banyak bermukim disana.
Di Pajajaran, San ‘Ali Anshar berhasil berguru kepada seorang Yogi
Hindhu. Dari Sang Yogi, San ‘Ali Anshar mendapatkan pelajaran Yoga yang
bersumber dari Rontal Catur Viphala, sebuah sistem Yoga yang juga
dipelajari oleh Prabhu Kertawijaya ( pengganti Ratu Suhita ) Raja
Majapahit.
San ‘Ali Anshar, mampu dengan cemerlang menguasai empat tahapan
sistem Yoga Catur Viphala. Empat tahap yang disebut Nis-Prha, Nir-Hana,
Nis-Kala dan Nir- Asraya.
Dalam tahap Nis- Prha, seorang Sadhaka ( pengembara spiritual )
diharapkan sudah mampu melampaui segala macam keinginan duniawinya.
Duniawi sudah tidak menarik minatnya lagi. Kehendak ‘aku’-nya hanya
terarah pada ‘Sang Atma’ atau ‘Aku- Semesta’. Seluruh Panca Indrya (
Lima Indra penghubung dengan dunia Maya ) dan Panca Karmendrya ( Lima
Indera penggerak badan kasar ), sudah mampu ditundukkan. Demikian juga
dengan Manah ( Pikiran ), Citta ( Ingatan ), Ahamkara ( Keakuan ) dan
Buddhi ( Kesadaran terbatas ), sudah sangat tenang. San ‘Ali Anshar,
menyebut kondisi ini dengan satu kata : Heneng ( Tenang )
Dalam tahap Nir-Hana, seorang sadhaka diharapkan sudah mampu
menyadari sebenar-benarnya, bahwa diri-Nya adalah bagian dari Kesadaran
Murni Semesta. Telah benar-benar menyadari bahwa diri-Nya adalah Atma.
Diri-Nya bukanlah Badan Kasar atau Sthula Sariira yang terlihat ini.
Diri-Nya bukanlah Badan Halus atau Suksma Sariira yang terdiri dari
Manah, Citta, Ahamkara, Buddhi dan kesepuluh Indra ini. Diri-Nya tak
lain adalah percikan Brahman, sebuah Kesadaran Total Murni Yang Absolut
Transendental. San ‘Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata :
Hening ( Jernih ).
Dalam tahap Nis- Kala, seorang sadhana sudah mampu melampaui Badan
Kasar dan Badan Halusnya. Seorang sadhana sudah menyadari betul, bahwa
Badan Kasar dan Badan Halus hanyalah produk Maya, Produk Alam, yang
tidak kekal dan bakalan musnah. Sandahan benar-benar menyadari hanya
Atma-lah yang kekal, karena Atma tidak diciptakan. Atma adalah percikan
Brahman. Sang Sadhana sudah melihat kebenaran ini Dia sudah mampu
melihat apa itu Atma, apa itu Brahman. Sang Sadhana sudah bisa melihat
bahwasanya Atman dan Brahman adalah Satu. San ‘Ali Anshar, menyebut
kondisi ini dengan satu kata : Hunong ( Melihat ).
Dalam tahap Nir- Asraya, Sang Sadhana sudah mampu melebur ‘aku’-nya.
Sudah mampu memecahkan belenggu ‘Aku’-Nya Sudah melampaui Mindnya. Dan
Atma sang Sadhana yang ternyata adalag Satu Kesatuan Tunggal dengan
Brahman, kini telah menikmati kondisi penyatuan ini, penyatuan yang
telah lama Ia lupakan. Menikmati Ketunggalan yang telah lama tak
disadarinya akibat pengaruh Maya, pengaruh Mind. Pengaruh ‘aku’ kecilnya
sendiri. Sang Sadhana telah lebur kedalam Kebahagiaan Sejati Yang Tiada
Akhir. San ‘Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan satu kata ; Menang (
Kemenangan ).
Di Pajajaran, melalui bimbingan seorang Yogi Hindhu, San ‘Ali Anshar,
mencapai ‘Puncak Kesadaran’. Dan dari Pajajaran inilah, San ‘Ali Anshar
menyadari bahwa seluruh alam ini, sesungguhnya adalah Satu Kesatuan.
Terlihat berbeda karena setiap makhluk masih terliputi kesadaran Badan
Halus. Sehingga muncul ‘aku’ kecil. Begitu ‘aku’ kecil muncul, maka
setiap makhluk merasa terpisah sebagai pribadi-pribadi tersendiri.
Begitu pengaruh Maya ini berhasil disingkapkan, maka semua yang terlihat
hanyalah Brahman semata. San ‘Ali Anshar bersujud syukur, karena
melalui seorang Yogi Hindhu, dia bisa menyadari semua ini. Bahkan
akhirnya, dia juga bisa memahami apa yang pernah diucapkan oleh seorang
Sufi terkenal, yaitu Abu Yazid al-Busthami, manakala beliu pernah
berkata kepada seseorang yang tengah mencarinya. Seseorang yang tengah
mengetuk pintu rumahnya. Beliau bertanya : Siapa ?. Yang mengetuk
menjawab : Aku, mencari Abu Yazid. Beliau lantas menjawab : Pergilah.
Yang ada dirumah ini hanya Allah!.
Setelah berhasil memperoleh Kesadaran Purna dari Pajajaran, hasrat
San ‘Ali Anshar untuk melakukan pengembaraan, tak terbendung lagi. Dia
bertolak ke Palembang. Menemui Arya Damar. Disana San ‘Ali Anshar
memperdalam lagi puncak spiritualitas yang sesungguhnya telah ia
dapatkan.
Arya Damar adalah bangsawan Palembang. Dia adalah putra Prabhu
Wikramawardhana, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1389-1429
Masehi dengan seorang putri China. Nama China Arya Damar adalah Swan
Liong. Dia adalah peranakan Jawa-China. Sempat belajar agama kepada Syeh
Ibrahim As-Samarqand atau yang di Jawa terkenal dengan nama Syeh
Ibrahim Smorokondi. Syeh Ibrahim As-Samarqand inilah ayah kandung Sunan
Ampel. Arya Damar inilah ayah tiri Raden Patah. ( Baca catatan saya :
Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).
Di Palembang, San ‘Ali Anshar bersama Arya Damar membuktikan bahwa
seluruh semesta ini sejatinya adalah satu kesatuan tunggal. Sehabis dari
Palembang, San ‘Ali Anshar melanjutkan pengembaraannya ke Kesultanan
Malaka ( +/- 1450 M ). Di Malaka, San ‘Ali Anshar dikenal dengan nama
Syeh Jabaranta, Bahkan, akibat pertemuannya dengan Syeh Datuk Ahmad,
yaitu kakak kandung Syeh Datuk Sholeh, ayahnya, San ‘Ali Anshar, diberi
nama baru, yaitu Syeh Abdul Jalil.
Rasa ingin mengenal semesta raya yang semakin meletup-letup didada
San ‘Ali Anshar yang kini dikenal dengan nama Syeh Abdul Jalil,
membuatnya memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ke Baghdad, Irak.
Bersama seorang ulama Sufi asal Baghdad yang menetap di Malaka, bernama
Syeh Ahmad Al-Mubasyarah Al- Tawwalud, Syeh Abdul Jalil, berangkat ke
Baghdad.
Di Baghdad, Syeh Abdul Jalil semakin intensif mempelajari
spiritualitas. Apalagi disana, dikediaman Al-Tawwalud, banyak
naskah-naskah Sufistik yang tersimpan. Seluruh kitab Sufistik mulai dari
Ihya’ Ulumuddin-nya Al-Ghazali, Fushushul Hikam-nya Ibnu ‘Araby,
karya-karya Abu Yazid Al-Busthami bahkan At-Thawasun-nya Al-Hallaj, yang
terkenal dengan ucapannya ‘Anna Al-Khaq’ ( Aku-lah Kebenaran Sejati )
dan yang hidupnya berakhir targis ditiang eksekusi mati, semuanya
berhasil dipelajari oleh Syeh Abdul Jalil. Termasuk pula kitab Haqiqatul
Haqoiq, Insan Kamil dan Manazilul Alahiyyah-nya Al-Jilli, semuanya
berhasil dipahaminya.
Setelah dirasa cukup, Syeh Abdul Jalil meneruskan pengembaraannya ke
Makkah. Setelah mengunjungi Makkah, Syeh Abdul Jalil bertolak pulang ke
Jawa.
Syeh Abdul Jalil tiba kembali dipulau Jawa pada tahun 1463 Masehi.
Caruban Larang, kini telah berubah menjadi daerah otonom. Pangeran
Walang Sungsang kini menjawab sebagai Penguasa tunggal wilayah Caruban
Larang dan bergelar Pangeran Cakrabhuwana, serta bergelar Shrii
Manggana. Gelar terakhir adalah gelar pemberian dari ayahandanya Prabhu
Silih Wangi.
Syeh Datuk Kahfi, masih dianugerahi usia panjang.
Kedatangan Syeh Abdul Jalil ini diketahui oleh Dewan Wali Sangha,
yaitu semacam Majelis Ulama Jawa yang berpusat di Ampeldhenta, Surabaya.
Majelis Ulama Jawa ini berdiri pada tahun 1454 dibawah pimpinan Raden
‘Ali Rahmad atau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. ( Baca catatan
saya : Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ).
Selama beberapa tahun meninggalkan Jawa, telah banyak sekali
perubahan yang terjadi. Syeh Abdul Jalil melihat umat Islam sekarang
terkesan lebih militan, jauh berbeda dengan kesan sebelum beliau
meninggalkan Jawa.
Karena di Jawa bagian barat kepemimpinan Islam belum ada yang
memegang, atas usul Sunan Benang, Syeh Abdul Jalil diangkat sebagai
wakil Dewan Wali di sana. Syeh Abdul Jalil, yang setibanya di Caruban
mendapat gelar baru Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, menerima
tawaran itu.
Namun melihat dominasi Dewan Wali Sangha yang semakin hari semakin
tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya, membuat Syeh Siti Jenar
harus berkali-kali melayangkan protesnya kepada Sunan Ampel. Syeh Siti
Jenar tidak menyetujui gerakan-gerakan lasykar Islam yang kian hari kian
radikal. Harmonisasi terganggu. Toleransi terkoyak. Etika kemanusiaan
tercampak. Dan ujung-ujungnya Islam menjadi kambing hitam.
Pada puncaknya, Syeh Siti Jenar menyatakan keluar dari Dewan Wali
Sangha. Bagi beliau, spiritualitas Islam yang universal, menjadi terasa
sempit terhimpit dinding-dinding kelembagaan Dewan Wali. Dan, Syeh Siti
Jenar tidaklah sendiri, seorang anggota Dewan Wali, yang sangat disegani
diwilayah Majapahit, yaitu Sunan Kalijaga, mempunyai pandangan yang
sama dengan beliau. Maka, dimata Dewan Wali, kedua tokoh ini telah
menjadi dua sosok figur ‘pemberontak’.
Seorang santri senior Sunan Ampel, yang bernama Sunan Giri, menamakan
kelompok Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, sebagai kelompok Abangan,
semacam kelompok bid’ah. Kelompok yang tidak mengamalkan ajaran Islam
secara keseluruhan, sepotong-sepotong. Dan, situasipun memanas. Ummat
Islam Jawa terpecah menjadi dua kelompok besar. Mereka yang berpandangan
bahwasanya umat beragama lain berhak berdampingan secara sejajar dengan
umat Islam, saling asah, asih dan asuh, saling memberi, saling mengisi,
dikelompokkan oleh Sunan Giri sebagai pengikut Abangan. Sedangkan
kelompok yang berpandangan bahwa Islam adalah kebenaran tunggal, tidak
ada lagi agama yang benar kecuali Islam, tidak ada lagi toleransi bagi
mereka yang bukan Islam kecuali ada perjanjian tertulis dan selayaknya
ajaran Islam yang berhak mendominasi segala aspek kehidupan manusia,
dikelompokkan sebagai kaum Putihan.
Pada tahun 1475 Masehi, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran
Cakrabhuwana, beserta ibunya Syarifah Muda’im, datang ke Cirebon dari
Mesir. Mengingat kedudukan kepemimpinan Islam di Jawa bagian barat
tengah kosong, maka Dewan Wali Sangha meminta Syarif Hidayatullah
bersedia mengisi kekosongan itu. Syarif Hidayatullah lantas terkenal
dengan nama Sunan Gunungjati.
Menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Kepemimpinan Dewan Wali
Sangha beralih ketangan Sunan Giri. Melihat perubahan yang tak terduga
ini, mau tak mau posisi abangan sangat terjepit.
Dan manakala mendengar Pesantren Krendhasawa yang diasuh oleh Syeh
Siti Jenar mengalami kemajuan sedemikian pesat, dimana materi pengajaran
yang diajarkan ternyata sangat-sangat lunak bagi akidah Islam, begitu
menurut Sunan Giri, bahkan tassawuf adalah materi utama yang diajarkan
disana melebihi ilmu-ilmu yang lain, maka Sunan Giri, yang merasa
sebagai Wali Mukmin, Pemimpin Dewan Wali, meminta Syeh Siti Jenar untuk
menghadap ke Giri.
Dewan Wali Sangha yang mendapati bahwa Syeh Siti Jenar benar-benar
sudah diluar kontrol, diam-diam memutuskan untuk menyingkirkan beliau.
Pada tahun 1478, Demak Bintara mengadakan perebutan kekuasaan. Majapahit berhasil dihancurkan ( Baca catatan saya ; Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka
). Perebutan kekuasaan yang berakhir sukses gemilang ini membuat
orang-orang Islam golongan Putihan merasa bangga. Kala itu, mereka
yakin, Tuhan telah merestui perjuangan mereka. Andai saja mereka tahu,
seandainya Majapahit tetap berdiri kokoh, kelak Belanda tidak akan mampu
menguasai Nusantara secara keseluruhan. Sebab dengan dihancurkannya
Majapahit, maka integrasi wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yang selama
ini mampu disatukan dalam panji kebesaran Majapahit, akan sangat sulit
dilakukan oleh Demak Bintara, mengingat Demak Bintara memiliki kebijakan
politik yang sangat kaku.
Begitu juga, hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa, pasti tidak
akan bisa berjalan lancar selancar disaat Majapahit masih berkuasa.
Bangsa Eropa dan dunia Islam, semenjak Perang Salib, telah memiliki
dendam sejarah yang teramat dalam. Mau tidak mau, untuk memperlancar
kembali pasokan rempah-rempah dari Nusantara yang kini didominasi
kekuatan Islam, maka politik konfrontasi akan dikedepankan oleh
bangsa-bangsa Eropa.
Secara tidak sadar, ummat Islam Putihan telah mengundang konflik
lebih besar bagi Nusantara. Mengundang keterpurukan Nusantara dalam
jangka waktu yang cukup lama.
Namun dikala itu, disaat mereka telah berhasil menghancurkan
Majapahit, mereka benar-benar optimis, benar-benar yakin, bahwa dengan
tegaknya Kesultanan Demak Bintara, maka Nusantara akan diberkahi
kemakmuran oleh Tuhan.
Pada kenyataannya, sejak masa itu, Nusantara terus tenggelam kedasar
jurang keterbelakangan dan kemiskinan. Mana janji Tuhan ? Seandainya
Majapahit tetap berdiri, maka dapat dipastikan, Nusantara akan tetap
tegak sejajar dengan China!
Kubu Abangan tidak ikut campur sama sekali dengan urusan perebutan
kekuasaan ini. Namun, begitu kaum Putihan memenangkan pertarungan, maka
bukan saja komunitas Hindhu-Buddha, kubu Abangan-pun ikut tersudut. Dan
pada puncaknya, mereka lama-lama tidak betah juga terus-terusan
disudutkan, dihakimi, diajari, dinasehati bahkan diintimidasi. Banyak
para pengikut Abangan yang kemudian menjauhi pusat-pusat perkotaan.
Menyingkir ke pedesaan. Membentuk kelompok-kelompok kecil,
terpisah-pisah dan terkucil. Dan pada perkembangan selanjutnya, sebagian
dari mereka ini menyebut dirinya sebagai penganut aliran Kejawen.
Lanjut Bagian 5
Lanjut Bagian 5
Post a Comment